1. Berjiwa Robbani
Maksudnya, seorang guru dalam pendidikan islam, termasuk ustadz di TKA-TPA, haruslah menjadikan Rob (Tuhan) sebagai tempat berangkat, tempat berpijak, dan tempat kembali segala aktifitasnya. Tuhan dan tingkah lakunya serta pola berfikirnya itu senantiasa berpijak dari Tuhan, pada Tuhan, oleh Tuhan, dan untuk Tuhan. Hal ini sesuai dengan petunjuk Allah dalam QS. Ali Imron: 79
"Akan tetapi hendaklah kamu semua menjadi orang-orang Robbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan tetapmempelajarinya"
Dengan jiwa Robbani ini, seorang ustadz dituntut untuk senantiasa menyesuaikan diri dengan kehendak Tuhan, bersungguh-sungguh berpegang pada wahyu-Nya, serta mengetahui sifat-sifat yang melekat pada Tuhan.
Tanpa memiliki jiwa Robbani ini, seorang ustadz akan tidak mungkin bisa mengantarkan para santrinya mencapai manusia yang dicita-cita kan oleh pendidikan islam, yaitu terbentuknya manusaia yang berpribadi muslim, manusia yang menjadikan Allah sebagai puncak ketaatan.
2. Niat Yang Benar dan Ikhlas
Islam mengajarkan, hendaknya setiap ustadz melandasi dirinya dalam mendidik para santrinya dengan niat yang benar., yaitu ikhlas semata-mata mencari ridho Allah, bukan mencari imbalan materi, gaji, jasa, pujian, kemasyhuran, kedudukan atau lainnya yang datang dari selain Allah. Andaikan kemudian dia mendapatkan imbalan, gaji misalnya, pastilah gaji itu digunakannya untuk mempermudah jalan untuk mencari keridhoan Allah. Jadi tidak dijadikannya sebagai tujuan (ghoyah), tetapi justru dijadikannya sebagai sarana (wasilah) untuk menuju lebih tinggi, yaitu keridhoan Allah.
Hal ini perlu dicamkan oleh para ustadz dalam mengajarkan ilmunya. Karena memang keikhlasan merupakan pangkal diterimanya amal oleh Allah SWT.
Allah berfirman dalam QS. Al-Bayyinah: 5
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah denganikhlas (murni semata-mata taat) kepada-Nya dalam menkalankan agama"
Rasulullah SAW juga bersabda:
"Sesungguhnya setiap amal itu hanyalah tergantung pada niatnya" (HR. Bukhari Muslim)
Untuk itu tepat sekali bila setiap ustadz senantiasa berikrar sebagaimana yang dituntunkan oleh Allah dalam QS> Al-An'am: 162
"Katakanlah, sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam"
Dalam QS. Huud: 29 Allah juga memberikan pelajaran pada para ustadz melalui kisah Nabi Nuh yang tidak meminta upah dari pengajarannya. "Hai kaumku, aku tiada meminta hartabenda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah"
3. Tawadhu' (Rendah Hati)
Setiap ustadz sudah seharusnya bila menghiasi diri dengan jiwa dan sikap tawadhu' atau rendah hati, serta menjauhkan diri dari sikap riya', sombong, takabur, dan tinggi hati. Karena betapapun luasnya ilmu yang telah dicapai, pada hakekatnya sangatlah sedikit dibandingkan ilmunya Allah. Allah berfiman dalam QS. Al-Isro': 85
"Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan kecuali sedikit"
Dan juag betapa tingginya derajat ilmu yang telah diraih, pada hakekatnya itu hanyalah satu atau dua bidang saja. Sedangkan dalam bidang yang lain boleh jadi masih buta sama sekali. Ingatlah akan peringatan Allah dalam QS. Yusuf: 76
"Dan diatas tiap-tiap orang yang berpengetahuan ini masih ada Yang Maha Tahu"
Untuk itulah tidak sepantasnya seseorang sombong dengan ilmunya. Hanya Allah yang pantas dan berhak untuk sombong. Karena memang Dia Dzat Yang Maha Tahu.
Bila sikap tawadhu' ini benar-benar dimiliki, tentunya akan mendorong kesadaran untuk terus menambah ilmunya dengan cara belajar dari sesama ustadz atau bahkan dari santrinya sendiri. Ibnu Mubarok mengatakan (Athiyah Al-Abrosyi, 1969 : 259)
"Seseorang dikatakan berilmu jika ia masih mau belajar. Dan jika ia merasa telah berilmu, sungguh sebenarnya ia bodoh"
Maksudnya, seorang guru dalam pendidikan islam, termasuk ustadz di TKA-TPA, haruslah menjadikan Rob (Tuhan) sebagai tempat berangkat, tempat berpijak, dan tempat kembali segala aktifitasnya. Tuhan dan tingkah lakunya serta pola berfikirnya itu senantiasa berpijak dari Tuhan, pada Tuhan, oleh Tuhan, dan untuk Tuhan. Hal ini sesuai dengan petunjuk Allah dalam QS. Ali Imron: 79
"Akan tetapi hendaklah kamu semua menjadi orang-orang Robbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan tetapmempelajarinya"
Dengan jiwa Robbani ini, seorang ustadz dituntut untuk senantiasa menyesuaikan diri dengan kehendak Tuhan, bersungguh-sungguh berpegang pada wahyu-Nya, serta mengetahui sifat-sifat yang melekat pada Tuhan.
Tanpa memiliki jiwa Robbani ini, seorang ustadz akan tidak mungkin bisa mengantarkan para santrinya mencapai manusia yang dicita-cita kan oleh pendidikan islam, yaitu terbentuknya manusaia yang berpribadi muslim, manusia yang menjadikan Allah sebagai puncak ketaatan.
2. Niat Yang Benar dan Ikhlas
Islam mengajarkan, hendaknya setiap ustadz melandasi dirinya dalam mendidik para santrinya dengan niat yang benar., yaitu ikhlas semata-mata mencari ridho Allah, bukan mencari imbalan materi, gaji, jasa, pujian, kemasyhuran, kedudukan atau lainnya yang datang dari selain Allah. Andaikan kemudian dia mendapatkan imbalan, gaji misalnya, pastilah gaji itu digunakannya untuk mempermudah jalan untuk mencari keridhoan Allah. Jadi tidak dijadikannya sebagai tujuan (ghoyah), tetapi justru dijadikannya sebagai sarana (wasilah) untuk menuju lebih tinggi, yaitu keridhoan Allah.
Hal ini perlu dicamkan oleh para ustadz dalam mengajarkan ilmunya. Karena memang keikhlasan merupakan pangkal diterimanya amal oleh Allah SWT.
Allah berfirman dalam QS. Al-Bayyinah: 5
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah denganikhlas (murni semata-mata taat) kepada-Nya dalam menkalankan agama"
Rasulullah SAW juga bersabda:
"Sesungguhnya setiap amal itu hanyalah tergantung pada niatnya" (HR. Bukhari Muslim)
Untuk itu tepat sekali bila setiap ustadz senantiasa berikrar sebagaimana yang dituntunkan oleh Allah dalam QS> Al-An'am: 162
"Katakanlah, sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam"
Dalam QS. Huud: 29 Allah juga memberikan pelajaran pada para ustadz melalui kisah Nabi Nuh yang tidak meminta upah dari pengajarannya. "Hai kaumku, aku tiada meminta hartabenda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah"
3. Tawadhu' (Rendah Hati)
Setiap ustadz sudah seharusnya bila menghiasi diri dengan jiwa dan sikap tawadhu' atau rendah hati, serta menjauhkan diri dari sikap riya', sombong, takabur, dan tinggi hati. Karena betapapun luasnya ilmu yang telah dicapai, pada hakekatnya sangatlah sedikit dibandingkan ilmunya Allah. Allah berfiman dalam QS. Al-Isro': 85
"Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan kecuali sedikit"
Dan juag betapa tingginya derajat ilmu yang telah diraih, pada hakekatnya itu hanyalah satu atau dua bidang saja. Sedangkan dalam bidang yang lain boleh jadi masih buta sama sekali. Ingatlah akan peringatan Allah dalam QS. Yusuf: 76
"Dan diatas tiap-tiap orang yang berpengetahuan ini masih ada Yang Maha Tahu"
Untuk itulah tidak sepantasnya seseorang sombong dengan ilmunya. Hanya Allah yang pantas dan berhak untuk sombong. Karena memang Dia Dzat Yang Maha Tahu.
Bila sikap tawadhu' ini benar-benar dimiliki, tentunya akan mendorong kesadaran untuk terus menambah ilmunya dengan cara belajar dari sesama ustadz atau bahkan dari santrinya sendiri. Ibnu Mubarok mengatakan (Athiyah Al-Abrosyi, 1969 : 259)
"Seseorang dikatakan berilmu jika ia masih mau belajar. Dan jika ia merasa telah berilmu, sungguh sebenarnya ia bodoh"
1 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* : 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =)) :a: :b: :c: :d: :e: :f: :g:
:h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar